Gaya FedEx Atasi Krisis
Krisis
PR memang tidak pernah membosankan untuk dibahas. Kasus-kasus yang terjadi
serta cara perusahaan menanganinya tidak pernah basi untuk didiskusikan. Selalu
ada hal yang bisa dipelajari dari kasus-kasus tersebut. Krisis PR terbaru yang
cukup mencuri perhatian adalah krisis yang dihadapi FedEx baru-baru ini.
Krisis
ini bermula pada musim liburan Desember 2011 lalu. Saat itu seorang kurir FedEx
melemparkan paket berupa monitor komputer ke pekarangan sebuah rumah. Hal yang
lebih mengerikan paket tersebut berada dalam kardus kemasannya dan bukan dalam
kemasan FedEx.
Artinya
si kurir tahu persis apa isi paket tersebut. Bukannya memperlakukannya dengan
hati-hati, ia malah dengan tidak bertanggungjawabnya melemparkannya ke seberang
pagar. Ia bahkan tidak mencoba membuka pagar atau membunyikan bel. Alhasil
monitor tersebut rusak dan merugikan si pelanggan.
Sialnya
(atau justru untungnya), si empunya rumah memasang kamera pengawas di gerbang
rumahnya. “Penghantaran” paket inipun terekam kamera tersebut. Sampai di sini,
kejadian tersebut adalah krisis layanan pelanggan. Sama sekali bukan krisis PR.
Apa
yang terjadi kemudian? Si pelanggan yang marah mengunggah video tersebut ke
YouTube. Dalam tempo lima hari setelah masuk ke YouTube, video tersebut sudah
ditonton sebanyak lima juta kali. Jadilah masalah ini sebuah krisis PR.
Tapi
FedEx menangani hal ini dengan cukup baik. mereka tidak mengabaikan video
tersebut. mereka tidak mengabaikan krisis yang terjadi. Mereka juga tidak
memalingkan wajah dan pura-pura video yang sekarang sudah ditonton sembilan
juta kali tersebut tidak ada.
FedEx
dengan pandai membuat video permintaan maaf dan mengunggahnya di YouTube. Apa
yang dilakukan FedEx mirip dengan cara Domino’s ketika dihadang krisis tentang
sanitasi makanan pada 2008 silam. Saat itu beredar video yang menampilkan
pegawai Domino’s bersin dan meludahi makanan.
Video
yang di-upload FedEx menampilkan Matthew Thornton III, Senior VP
FedEx Express US Operation. Dalam video tersebut Thornton mengungkapkan
permohonan maafnya dan kekecewaannya atas kejadian yang tidak menyenangkan
tersebut.
“Sebagai
pimpinan operasi pengiriman FedEx di Amerika, saya ingin Anda tahu bahwa saya
sangat kecewa, malu, dan meminta maaf atas kejadian tidak menyenangkan yang
menimpa pelanggan kami. Kejadian ini benar-benar bertentangan dengan apa yang
kami ajarkan dan harapkan dari para staf kami. Hal ini benar-benar mengecewakan,”
ungkapnya.
Dalam
video tersebut, Thornton menjelaskan apa yang telah dilakukan perusahaan kepada
pelanggan yang dirugikan tersebut. Ia juga menjelaskan bagaimana video
“pengiriman” tersebut digunakan dalam pelatihan pegawai agar kejadian serupa
tidak terulang kembali di masa mendatang.
Video
serta blog yang menyertainya mendapat tanggapan positif, baik dari pelanggan
maupun pegawai. Para pegawai FedEx pada akhirnya juga tergerak untuk berbagi
cerita dan menyatakan rasa syukur mereka bisa bergabung sebagai keluarga besar
FedEx.
Dari
kasus FedEx kita bisa belajar beberapa hal. Pertama, bila terjadi kesalahan
seperti yang dialami FedEx mintalah maaf dengan tulus. Bukan model permintaan
maaf dengan kata-kata “kami minta maaf, tapi…”. Tapi permintaan maaf yang tulus
dan penyesalan yang sungguh-sungguh.
Kedua,
selalu jawab krisis di media yang sama. Kalau terjadi krisis di Twitter,
jawablah melalui Twitter. BIla terjadi di YouTube maka seperti FedEx, jawablah
melalui YouTube. FedEx mengatasi krisisnya dengan sangat baik.
Mereka
tidak membuang-buang waktu untuk menanggulanginya. FedEx dengan tepat menangkap
masalahnya, menyampaikan apa yang telah mereka lakukan, menjelaskan bagaimana
kejadian tersebut akan dijadikan pelajaran agar tidak terulang lagi, dan meminta
maaf dengan tulus.
Sebuah
hal yang wajar bila perusahaan membuat kesalahan. Namun, bagaimana kita
menangani masalahlah yang menjadi penting. Karena itulah yang akan diingat oleh
masyarakat. (www.prdaily)
sumber : http://pr.marketing.co.id/2012/01/12/gaya-fedex-atasi-krisis/